9/25/2016

Kebenaran Politis


“ Dalam politik, empat dikalikan empat, tak selamanya menghasilkan angka enam belas. Bisa lima belas ataupun tujuh belas”

Situasi inilah yang kini menghinggapi tim pansus hak angket century. Dimana dalam penyampaian pandangan awal terhadap sebuah fakta Bail Out century, terjadi polarisasi dua pandangan yang berbeda. Satu kubu , yakni fraksi PD dan PKB menganggap tidak terjadi penyimpangan dalam hal pokok perkara menyangkut pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada november 2008 sebesar Rp689 miliar dan pemberian dana talangan (bailout) pada november 2008-Juli 2009 yang mencapai Rp6,7 triliun. Sementara satu kubu lagi, yakni terdiri dari fraksi PDI-P, Golkar, PKS, PPP, PAN , Gerindra dan Hanura menyatakan telah tejadi pelanggaran dan penyimpangan dalam proses Bail out.....

Dengan kondisi demikian, secara matematis posisi sementara adalah 7-2 untuk keunggulan para pihak yang kontra bail out. Dengan Kekuatan tujuh fraksi sebenarnya sudah cukup untuk ‘memvonis mati’ terjadinya penyimpangan dan pelanggaran dalam bail out century. Sebab jika dikalkulasikan kedalam prosentase kekuatan kursi antara yang kontra dan yang pro bail out akan berbanding 66,6% dengan 33,3% di kursi pansus atau 68,57% berbanding 31, 43% di kursi DPR
Adanya silang pendapat dalam pandangan awal memang terkesan aneh. Apalagi sedari awal mereka selalu berujar jikalau pansus adalah bekerja atas nama rakyat bukan partai. Bagaimana mungkin satu fakta mampu melahirkan dua kesimpulan yang berbeda. Tetapi itulah realita politik, tak ada sesuatu yang tidak mungkin alias impossible is nothing. Fakta yang sejatinya adalah sebuah kebenaran , dalam politik hanya dijadikan sebagai alat pembenaran. Yang pada akhirnya hanya akan menghasilkan kebenaran semu. Yakni kebenaran relative menurut versinya masing-masing yang bersifat dinamis, tergantung pada kekuatan dan kepentingan politis ansich. Ya kebenaran politik memang bukanlah kebenaran matematis yang bersifat absolute, yang bisa dihitung dengan jari.
Terjadinya polarisasi dua pandangan yang berbeda, menurut penulis disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, adanya konflik kepentingan antar partai dan kecnderungan pragmatisme partai. Bagi pihak yang pro bail out, dalam hal ini khususnya PD tentu bagian dari upaya menghindarkan diri dari beban dan tanggung jawab baik hukum maupun politik. karena, aliran dana bank century diyakini banyak pihak mengalir deras ke tim sukses dari partai democrat. Hal yang bahkan lebih jauh dikhawatirkan berdampak politis yakni pada pemakzulan RI II. adapun bagi PKB, ’khusnudzonnya’ ini merupakan bagian dari konsistensi menjunjung pakta integritas sebagai partai mitra koalisi dalam pemerintahan.
Sedangkan bagi pihak yang kontra, ibaratnya ‘menyelam sambil minum air’. Artinya, alih-alih menegakan hukum, tetapi sembari juga mencapai tujuan pragmatis politiknya masing-masing. Sikap awal dari sebagian besar partai peserta koalisi yang ‘membelot’ bisa jadi merupakan ‘intrik’ dan ‘strategi’ politik, guna menaikan bargaining position. Dengan demikian, apabila lobi-lobi berhasil mencapai kompromi politik, bukan tidak mungkin sikap atau pandangan akhir nantinya berubah dan berbalik seratus delapan puluh derajat. Artinya, yang tadinya 7-2, bisa jadi berbalik 3-7, dengan asumsi semua partai peserta koalisi merubah sikap pada pandangan akhir.
Sebaliknya jika pada pandangan akhir tetap sama 7-2, belum tentu ini mengindikasikan sebuah idealisme dari partai politik. Karena dengan demikian, bukankah berarti wacana pemakzulan RI 2 dan Menteri keuangan dapat mudah terealisasi. Yang nantinya, akan memudahkan langkah parpol untuk ‘menjajajkan dirinya’, guna mengisi vacuum of power melalui proses politik transaksional. Selain itu , bagi mereka (paprol koalisi mapun opoisi -pen) yang dengan lantang menyuarakan kontra kebijakan bail –out, merupakan investasi berharga dimasa depan dalam membangun citra politik, karena setidaknya akan dianggap sebagai partai yang pro rakyat.
Kedua, kurangnya profesionalisme dan kedewasaan elit politik kita. Elit politik yang duduk dipansus tidak bisa menghilangkan egosentrisme kepartaiannya. Sehingga, suara yang ada lebih banyak menyuarakan partainya ketimbang suara rakyat.
Jangan ada dusta
Tuntutan dan keingignan rakyat sebenarnya cukup sederhana, yakni bagaimana uang rakyat yang ‘dicuri’ dapat dikembalikan secepatnya. Kepada wakil rakyat, kita hanya bisa berharap jangan lagi ada dusta diantara kita. Gunakan nurani dan kejujuran, sehingga kebijakan yang dihasilkan adalah kebenaran. Rakyat sesungguhnya cerdas dan tidak buta, karena kinerja mereka dipantau lewat media cetak dan elektronik. Jadi Apabila engkau (wakil rakyat-pen) membuat kebijakan yang menyakiti rakyat, ‘karma’ siap menunggu. Jangan salahkan jika rakyat tidak lagi percaya pada politik, dan muaranya adalah pada saat pemilu nantinya. *Pernah dimuat di Kompas rubrik suara mahasiswa


EmoticonEmoticon