9/28/2016

Nasionalisme Semu dan Invisible Hand


Entah harus berapa lagi nyawa terbang melayang agar masyarakat kita benar-benar tersadar bahwa kekerasan bukanlah solusi atas suatu permasalahan. Atas dalih apa pun, kekerasan tidak dibenarkan Menggeliatnya fenomena kekerasan dalam masyarakat kita dewasa ini tampak begitu nyata dan meningkat tajam. Dari kasus Priok dan Buol beberapa bulan yang lalu, hingga kasus penusukan jemaat HKBP, kerusuhan Tarakan dan kasus Ampera, serta terakhir penyerangan pengikut Ahmadiyah.

Mencermati lebih jauh, sebagian besar konflik mewujud dalam bentuk konflik horizontal, baik konflik antaretnis, agama, maupun antarkelompok. Hal yang mengingatkan kita seperti kerusuhan Mei 1998, kerusuhan Poso, dan Ambon. Dengan kata lain, bangsa ini seakan tak pernah belajar dari sejarah dan lebih memilih jatuh pada lubang yang sama.

Terlepas dari permasalahan mandulnya hukum dan masalah ekonomi, akar masalah maraknya konflik horizontal, menurut penulis, tidak lepas dari dua faktor utama.

Pertama, nasionalisme semu, yakni rasa kebangsaan yang selama ini muncul lebih banyak didominasi atas landasan konflik melalui penciptaan common enemy. Ini terlihat jelas dari bagaimana masyarakat kita begitu nasionalisme-nya ketika menyikapi konflik Indonesia-Malaysia. Atau lihat saja nasionalisme ala sepak bola sewaktu Piala Asia 2007. Saat itu ratusan ribu orang dari berbagai latar belakang serempak mendukung timnas Merah Putih untuk mengalahkan lawan-lawan. Sebaliknya, ketika tidak ada common enemy, kita justru disibukkan dengan konflik internal (horizontal) sendiri. 

Karena itu, perlu kiranya bangsa ini membangun kembali nasionalisme warganya secara tulus dan nyata. Dengan demikian, perbedaan sebagai sebuah hukum kausalitas dari penduduk yang besar dan beraneka ragam tidak menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Sebaliknya justru menjadi modal dasar dalam pembangunan bangsa ke depan.

Kedua, bermainnya tangan-tangan tak kelihatan alias invisible hand, yang meliputi tangan para politikus, media massa, dan kekuatan asing. Para politikus begitu jeli menangkap isu konflik horizontal dalam memanaskan situasi sosial politik. Meski tidak terlibat langsung, politikus kerap menjadi para pemanas situasi. Kita seharusnya berani membaca sejarah, peralihan kekuasaan dari era Orde Baru ke Orde Reformasi juga didahului oleh berbagai peristiwa konflik horizontal, seperti peristiwa Mei 1998.

Adapun media berperan dalam me-multipliereffect-kan atas suatu informasi. Intensitas suatu pemberitaan berlebih secara tidak langsung berdampak pada proses modeling (peniruan) oleh pemirsanya. Sayang, model yang ditiru adalah perilaku yang buruk. Sebab sebagian besar media kita masih menganut teori bad news is good news.

Kita juga tak bisa menutup mata akan adanya tangan asing yang ikut memanaskan situsi sosial-politik di negeri ini. Setidaknya asumsi ini didasarkan pada berbagai peristiwa khususnya terkait konflik vertikal seperti pemberontakan separatis di beberapa wilayah Tanah Air yang nyatanya ada kekuatan asing di dalamnya. Isu konflik horizontal bisa jadi merupakan jalan baru bagi kekuatan asing dalam memanaskan situasi sosial politik dalam negeri.

Konflik horizontal lahir dari adanya perbedaan, baik suku, ras, etnis, kelompok, maupun agama. Indonesia sebagai bangsa yang besar dan beraneka ragam tentu sangat rawan dengan jenis konflik ini


EmoticonEmoticon